Jakarta 20 Juni 2013 – Asian Agri bersikap kooperatif dengan melakukan pembayaran terhadap Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri. Namun, 14 perusahaan tersebut akan mengajukan keberatan sesuai ketentuan yang berlaku demi tegaknya keadilan.
General Manager Grup Asian Agri Freddy Widjaya mengatakan, “SKP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung atas perkara Saudara Suwir Laut dimana Asian Agri bukan pihak dan tidak pernah didakwa serta tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri. Namun demikian, kami tetap patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dengan melakukan pembayaran pada hari ini.”
Freddy Widjaya menambahkan bahwa Asian Agri selama periode pajak yang dipermasalahkan yakni 2002 sd 2005 telah melaksanakan kewajibannya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak, bahkan Grup Asian Agri termasuk salah satu pembayar pajak yang besar di Industri Kelapa Sawit.
Asian Agri mempertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp.1,25 Triliun yang diterbitkan. Jumlah tersebut melebihi total keuntungan dari ke 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri pada periode 2002-2005 yang hanya sebesar Rp.1,24 Triliun, belum lagi ditambahkan denda pajak yang dikenakan, sehingga totalnya menjadi Rp.4,4 Triliun.
“Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100% keuntungan perusahaan, ” tegas Freddy Widjaya.
Freddy Widjaya mengharapkan agar permasalahan ini dapat dilihat secara proporsional. Opini yang tidak proporsional dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan kami yang hingga saat ini telah membina 30,000 keluarga petani plasma dan bermitra dengan 25,000 petani swadaya. Dengan demikian tidak adanya perlindungan bagi bisnis dan kepastian hukum di Indonesia.
Mohammad Assegaf selaku kuasa hukum Suwir Laut mengutip pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara Suwir Laut sebagai berikut:
“Dalam perkara pidana pajak, perhitungan yang dilakukan Fiskus (DJP) yang bukan dalam bentuk ketetapan melainkan hanya perhitungan belaka, tidak dapat digunakan untuk menetapkan besarnya kerugian pada pendapatan negara karena jaksa/penuntut umum dan/atau Hakim Pidana tidak mesti menerima secara serta merta hasil perhitungan DJP melainkan harus ada penilaian atau pengujian apakah perhitungan DJP itu didasarkan pada bukti-bukti yang valid dan/atau sah ataukah tidak?”
Assegaf mempertanyakan, “Bagaimana Majelis Hakim tingkat Kasasi dapat menetapkan utang pajak tersebut? Menurut ketentuan hukum, Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum, bukan pembuktian fakta. Jadi angka Rp.1,25 triliun itu berdasarkan apa?”
Permasalahan ini hendaknya diselesaikan secara jernih demi tegaknya keadilan bagi semua wajib pajak di Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Website : www.asianagri.com
Chlara Saputra | Pamungkas Trishadiatmoko |
E-mail: chlara_saputra@www.asianagri.com | E-mail: pamungkas_t@www.asianagri.com |
Tel: (021) 230-1119 | Tel: (021) 230-1119 |
Fax: (021) 230-1120 | Fax: (021) 230-1120 |