Puluhan tahun yang lalu, kehidupan Ekoyono dan keluarganya sangat penuh dengan dilema. Di satu sisi, kedua orang tua Eko ingin memperbaiki perekonomian keluarganya, karena mereka datang dari keluarga yang kurang mampu.
Namun di sisi lain mereka bingung karena tidak memiliki keahlian apapun untuk menunjang hal tersebut.
Sebuah harapan besar datang kepada Eko ketika keluarganya ditawari untuk mengikuti program Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans) yang tengah dicanangkan pemerintah ketika itu. Melalui program PIR Trans ini, pemerintah mendorong pola kerjasama antara petani kelapa sawit dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Pada tahun 1990 Eko dan keluarganya, kemudian pindah dari tempat tinggal awalnya di Ciamis, Jawa Barat, ke Pelalawan, Riau, untuk bergabung sebagai petani plasma dari perusahaan perkebunan PT. Inti Indosawit Subur (Asian Agri). Melalui program kemitraan ini, selain mendapatkan binaan mengenai tata cara bertani kelapa sawit yang baik dan benar, mereka juga mendapatkan jatah hidup setiap bulannya dari pemerintah dan Asian Agri.
“Orang tua saya dapat informasi dari temannya bahwa program PIR Trans ini memiliki prospek kedepannya sangat menjanjikan,” kata Eko.
“Jadi transmigrasi ini adalah salah satu upaya orang tua saya untuk memperbaiki perekonomian keluarga saya. Kami pindah dari Ciamis, Pulau Jawa, ke Riau, Pulau Sumatera” lanjutnya.
Pada mulanya, Eko dan keluarganya agak khawatir, karena banyak sekali orang yang beranggapan bahwa para transmigran adalah orang-orang yang dibuang oleh pemerintah.
“Dulu kami dianggap sebagai orang buangan. Bahkan ada yang bilang bahwa kami akan tinggal di hutan. Padahal kan tujuan program tersebut adalah untuk pemerataan,” ujar pria kelahiran 1977 ini.
Awalnya Eko dan keluarganya menerima lahan seluas 2 hektar yang bisa dijadikan sebagai perkebunan kelapa sawit.
Seiring berjalannya waktu, perkebunan kelapa sawit milik keluarga Eko semakin besar dan maju. Lambat laun kesejahteraan Eko dan keluarganya pun kian meningkat dan berbeda jauh seperti ketika tinggal di Ciamis dulu.
“Saya sangat bersyukur kedua orang tua saya dulu memilih untuk ikut program PIR Trans. Kami sekarang jauh lebih sejahtera, bahkan kini kami telah mempekerjakan 18 orang untuk mengelola perkebunan kelapa sawit kami yang seluas 40 hektar,” kata Eko.
“Pendapatan saya per bulan sebenarnya sangat relatif, mungkin di kisaran 60-80 juta per bulannya. Namun yang terpenting adalah, dengan menjadi petani sawit, saya bisa membuka lapangan pekerjaan dan membantu orang-orang sekitar yang membutuhkan,” ujar anak pertama dari 3 bersaudara ini.
Selepas ayahnya tiada, Eko lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia pun memutuskan untuk mengikuti jejak orang tuanya untuk menjadi petani kelapa sawit generasi kedua di keluarganya. Ia menyadari apa yang ia dapatkan sekarang semata-mata datang dari perkebunan kelapa sawit. Bahkan adiknya yang paling kecil kini bisa berkuliah dari hasil bertani kelapa sawit. Sedangkan adik perempuannya yang kedua, lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.
“Orang tua tidak pernah menyuruh saya untuk menjadi petani kelapa sawit. Ini murni keinginan saya sendiri. Orang tua saya memang mengajarkan mengenai bagaimana tata cara bertani yang baik. Tapi selain itu saya juga belajar secara dari luar juga, tidak hanya dari orang tua saja,” Eko menjelaskan.
“Orang tua saya hanya bermodal cangkul saja bisa menjadi petani sukses dan menyejahterakan keluarganya.
Kemudian saya berpikir bahwa saya harusnya bisa menjadi petani yang lebih sukses lagi, terlebih lagi di jaman modern seperti ini. Itulah mengapa saya tetap ingin menjadi petani kelapa sawit” kata Eko.
Eko mengungkapkan dirinya tidak pernah malu berprofesi sebagai seorang petani kelapa sawit. Meskipun labelnya adalah seorang petani, namun menurutnya penghasilan yang ia dapatkan jauh lebih besar dibandingkan bekerja kantoran.
“Intinya jangan gengsi. Karena menjadi petani kelapa sawit pun sangat menguntungkan,” tutup Eko.