Memang bukan suatu hal baru bahwasanya penggunaan kelapa sawit dalam kehidupan banyak mendapat kritikan karena dianggap tidak ramah lingkungan. Namun di sisi lain, produk olahan dari kelapa sawit yang biasanya terdapat pada makanan dan kosmetik telah banyak dimanfaatkan oleh lebih dari separuh populasi umat manusia yang berasal dari berbagai belahan dunia.
Besarnya kritik dari para penggiat lingkungan baik dari tingkat nasional maupun internasional terhadap kelapa sawit kerap memengaruhi dan membentuk pandangan masyarakat tentang manfaat dan nilai unggulan komoditas minyak nabati ini.
Tak jarang polemik di sektor penyumbang devisa terbesar di Indonesia ini berkutat di seputar tuduhan deforestasi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, ancaman terhadap satwa langka yang dilindungi, tekanan terhadap pembeli produk kelapa sawit dan turunannya, hingga ajakan untuk memboikot pembelian produk sawit. Pembahasan mengenai sawit juga dibawa hingga ke forum perdagangan internasional.
Di awal semester 1 tahun ini Pemerintah Indonesia mengusulkan skema penerapan carbon credit dan pemanfaatan kelapa sawit bagi pembangunan dalam rangkaian pertemuan Tahunan World Economic Forum (WEF) 2020 di Davos-Swiss.
Dalam pertemuan tersebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta para pemangku kepentingan untuk melihat industri sawit secara holistik, termasuk dari aspek lingkungan, ekonomi, kontribusi terhadap pembangunan global, perspektif bisnis, serta kebijakan yang telah diambil Pemerintah Indonesia. Dalam laporan Oil World 2018 tercantum total luas keseluruhan produsen minyak nabati global, termasuk bunga matahari, kedelai, biji kapas, kelapa sawit, biji rapa dan tanaman lainnya adalah 290.000 hektar (ha) dengan angka produksi minyak nabati sebesar 221 juta ton. Dari luas tersebut, kelapa sawit hanya menggunakan lahan sebesar 7 persen, kedelai 43 persen, biji kapas 12 persen, biji rapa 11 persen, bunga matahari 9 persen dan tumbuhan minyak nabati lainnya 20 persen.
Baca selengkapnya di Viva.co.id