Minyak kelapa sawit mendapatkan sentimen buruk akhir-akhir ini. Salah satu penyebabnya adalah rencana boikot yang dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit.
Para kritikus pun mulai bertanya, apakah mungkin negara-negara lain akan melakukan hal serupa?
Meski terdengar seperti suatu solusi yang mudah untuk dilakukan, namun, sebagaimana diungkapkan oleh International Union for the Conservation of Nature dalam laporannya, memboikot minyak kelapa sawit malah akan memperburuk masalah yang ada.
Hal itu disebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat dunia terhadap minyak nabati, seiring dengan terjadinya pertumbuhan populasi. Menghilangkan salah satu jenis minyak nabati dari rantai pasok hanya akan menggeser permintaan ke jenis minyak nabati lainnya, dengan potensi konsekuensi yang lebih buruk terhadap lingkungan.
Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang paling produktif dan efisien dalam hal penggunaan lahan,” ujar Bernard Riedo, Direktur Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri.
Untuk menghasilkan volume produksi minyak yang sama, tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed dan bunga matahari membutuhkan lahan 6 kali lebih luas dibandingkan dengan kelapa sawit. Dengan demikian, jika ingin mengganti minyak kelapa sawit, maka potensi untuk terjadinya deforestasi besar-besaran semakin terbuka lebar untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia melalui tanaman-tanaman tersebut,” ujar Bernard.
Sebagai solusi, menurutnya, adalah bukan mengganti minyak kelapa sawit, namun bagaimana membuat industri ini berkelanjutan.
Beberapa badan sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang mana Asian Agri telah bergabung dalam keanggotaannya sejak tahun 2006, menyediakan fondasi yang kuat untuk mendukung terciptanya hal tersebut, seperti larangan deforestasi, perlindungan terhadap lahan gambut dan aturan yang jelas terhadap hak asasi manusia (HAM). Bahkan, pada November 2018 tercatat lebih dari 4.000 anggota meliputi perusahaan, pemerintah, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung penambahan standar baru, yang disambut baik oleh WWF sebagai “langkah maju yang signifikan”.
Tantangannya, jelas Bernard, bahwa RSPO adalah bentuk sertifikasi yang bersifat sukarela. “Salah satu masalahnya adalah penerapan praktik keberlanjutan yang tidak merata. Ada perusahaan yang secara serius menerapkan praktik pengelolaan yang berkelanjutan, namun di sisi lain ada juga yang tidak peduli dan tidak melakukan. Disinilah dukungan dari Pemerintah sangat dibutuhkan ,” ujarnya.
Indonesia juga mendukung hal ini melalui keberadaan sertifikasi ISPO, yang bersifat wajib bagi para pelaku industri. Hal inilah yang diperlukan untuk meningkatkan standar berkelanjutan pengelolaan kelapa sawit,” tambahnya.
Berbicara Tentang Hal Positif
Salah satu masalah terkait citra kelapa sawit adalah para pemasok yang enggan mengakui penggunaan minyak kelapa sawit pada produknya, dengan mengganti namanya menggunakan bahasa yang lebih umum seperti ‘minyak nabati’. Akibatnya, banyak konsumen yang sering kali tidak menyadari bahwa sebagian besar dari produk yang mereka gunakan sehari-hari mengandung minyak kelapa sawit.
Meskipun saat ini banyak produk-produk yang mulai menyertakan logo minyak kelapa sawit berkelanjutan pada kemasannya (seperti RSPO), masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang hal-hal positif mengenai kelapa sawit. “Hingga saat ini, jutaan orang khususnya di Asia Tenggara telah berhasil terangkat dari garis kemiskinan berkat industri kelapa sawit. Pada tahun ‘80 dan ‘90an banyak dari mereka yang mulai berkecimpung di bidang ini hanya bermodalkan kemampuan dasar seputar kelapa sawit, beberapa di antara mereka bahkan datang dengan hanya bermodalkan pakaian yang mereka kenakan. Namun, hari ini anak-anak mereka dapat pergi ke sekolah bahkan perguruan tinggi dan menikmati kehidupan yang lebih baik berkat keberadaan industri ini.
Solusinya adalah bukan menjerumuskan mereka kembali pada kemiskinan, namun ini adalah suatu bentuk tanggung jawab bagi perusahaan besar seperti Asian Agri untuk bermitra bersama para petani kelapa sawit dan menularkan komitmen yang sama dalam hal penerapan praktik keberlanjutan kepada mereka,” ujar Bernard.
Pada dasarnya, hal tersebut adalah sebuah tantangan. Sertifikasi keberlanjutan bisa menjadi mahal dan menyulitkan bagi para petani kelapa sawit nasional, yang saat ini berjumlah kurang lebih 1,7 juta keluarga, mencakup 42% total perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Untuk mendukung para petani dapat memperoleh sertifikasi, di tahun 2013, Asian Agri bekerja sama dengan WWF dan Carrefour untuk memelopori proyek percontohan sertifikasi petani yang berhasil membawa asosiasi petani swadaya mitra Asian Agri di Ukui, Riau menjadi asosiasi petani swadaya yang memperoleh sertifikasi RSPO pertama di Indonesia.
Inisiatif yang sama juga telah dilakukan oleh Asian Agri dengan bermitra bersama UNDP dan Tanoto Foundation pada proyek percontohan sertifikasi ISPO untuk petani swadaya, yang mana berhasil menjadikan asosiasi petani swadaya mitra Asian Agri kembali menjadi yang pertama di Indonesia memperoleh sertifikasi ISPO.
Asian Agri juga memiliki Komitmen Kemitraan One to One, yang akan mewujudkan pengelolaan satu hektar kebun milik perusahaan, sebanding dengan satu hektar kebun milik petani. “Bentuk kemitraan seperti ini akan mendukung para petani dalam penerapan praktik keberlanjutan,” ujar Bernard.
“Kami bermitra dengan petani dengan terlebih dahulu berfokus untuk meningkatkan produktivitas kebun mereka. Karena akan sia-sia bila kita berbicara mengenai keberlanjutan atau sertifikasi, jika kita tidak meningkatkan produktivitas kebun mereka terlebih dahulu. Setelah petani merasakan manfaatnya, barulah secara bersamaan kami memberikan informasi dan menerapkan bentuk praktik-praktik berkelanjutan, seperti yang kami lakukan di perkebunan milik perusahaan. Ketika para petani melakukan hal serupa dan merasakan manfaatnya bagi mereka, barulah kita dapat berbicara mengenai sertifikasi,” ujar Bernard.
Komitmen Kemitraan One to One juga membantu Asian Agri untuk memastikan kemampu telusuran rantai pasok dengan melibatkan secara langsung para petani yang merupakan pemasok utama bagi perusahaan.
Pemanfaatan Teknologi Blockchain untuk Minyak Kelapa Sawit
Aspek kemampu telusuran adalah hal yang tidak lepas dari aspek keberlanjutan. Tentunya bukan hal yang mudah bagi industri dengan jumlah pemasok dan perantara yang cukup banyak seperti pada industri kelapa sawit. Keberhasilan Asian Agri dalam mencapai 100% kemampu telusuran di tahun 2017 tidak lepas dari peran Komitmen Kemitraan One to One yang melibatkan para petani kelapa sawit secara langsung dalam program kemitraan. Namun begitu, hal tersebut membutuhkan proses yang panjang dan sering kali cukup menyulitkan bagi perusahaan lain untuk menerapkan hal yang sama.
Karena alasan tersebut, Asian Agri pada tahun 2018 menjadi salah satu pendiri SUSTAIN, sebuah kelompok yang terdiri dari para pelaku di industri kelapa sawit termasuk perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, produsen produk-produk konsumen, organisasi nirlaba dan perusahaan teknologi yang menggunakan blockchain untuk meningkatkan kemampu telusuran minyak kelapa sawit.
Minyak kelapa sawit berkelanjutan adalah solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan akan minyak nabati yang terus tumbuh, sambil mewujudkan kemajuan terhadap aspek keberlanjutan ini. “Seluruh pelaku industri dan pemangku kepentingan harus bekerja sama,” ujar Bernard.
Perusahaan, petani, pemerintah dan konsumen, kita semua perlu mengambil bagian untuk terus mendukung keberlanjutan,” tutup Bernard.