Pada tahun 1990, Erik Widirianto harus terpisah dengan ayah dan ibunya yang memutuskan untuk mengikuti program PIR Trans, sebuah program pemerataan penduduk yang tengah dicanangkan pemerintah ketika itu.
Saat ayah dan ibunya pindah dari Lumajang, Jawa Timur ke Pelalawan, Provinsi Riau, ia harus tinggal bersama kakeknya. Orang tua Erik yang pindah ke Pelalawan, dibekali lahan perkebunan sawit seluas 2 hektar untuk dikelola, sebagai modal mereka berusaha.
Empat tahun kemudian, Erik diajak oleh ayahnya untuk pindah dan hidup bersama di Pelalawan. Erik sedikit kaget dengan keadaan Pelalawan kala itu. Segalanya serba terbatas, bahkan untuk sekolah pun Erik harus berjalan kaki ke Pangkalan Kerinci, karena di desanya tidak ada sekolah.
“Ketika saya pindah ke sini, saya masih berumur 7 tahun. Banyak orang yang datang ke sini dan merasa tidak betah kemudian memutuskan pulang ke daerah asalnya,” kata Erik.
Berbeda dengan ayah Erik, ia memutuskan untuk tetap tinggal di Pelalawan dan mengurus perkebunan sawit yang telah diberikan kepadanya. Perjuangan ayah Erik pun tak sia-sia. Perkebunan kelapa sawit yang ia kelola berhasil memperbaiki perekonomian keluarganya.
“Alhamdulillah, berkat perkebunan sawit yang dikelola ayah, perekonomian keluarga kami dapat meningkat, bahkan bisa membiayai kuliah saya hingga lulus sarjana di Pekanbaru” ujar Erik.
Setelah lulus dari kuliahnya, Erik memutuskan untuk kembali ke Pelalawan untuk mengurus perkebunan kelapa sawit milik keluarganya. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal pada tahun 2012 dan berpesan untuk tidak menjual perkebunan sawitnya.
“Kelapa sawit ini adalah satu satunya sumber pokok penghasilan keluarga saya, dari sinilah saya bisa berkuliah, jadi saya tidak akan meninggalkannya,” ucap Erik.
“Sebelumnya, saya sudah diajarkan oleh ayah saya tentang cara bertani sawit, seperti memupuk dan memanen. Orang tua saya berharap saya bisa memperluas lahan perkebunan ini.” lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, Erik berhasil mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang petani kelapa sawit yang sukses. Pendapatannya setiap bulan dari hasil perkebunan sawit terus meningkat secara signifikan. Selain itu jumlah area perkebunannya pun terus bertambah.
“Lahan perkebunan yang ayah saya tinggalkan ada 11 kapling (22 hektar), dan sekarang saya berhasil memperluasnya menjadi 32 kapling (64 hektar),” kata Erik.
“Biasanya penghasilan kotor dari satu kapling itu bisa mencapai sekitar 4 juta Rupiah. Jadi dari seluruh perkebunan kelapa sawit ini saya bisa mendapatkan penghasilan bersih sekitar Rp 30 sampai Rp 50 juta per bulan,” lanjutnya.
Setelah sukses menjadi petani kelapa sawit, Erik tidak menjadi kacang yang lupa kulitnya. Ia ingat ketika dulu tidak ada sekolah di desanya. Maka dari itu ia mendirikan sebuah sekolah Islam bernama Madrasah Tsanawiyah Kampung Kumbara Utama, sebuah sekolah yang setingkat Sekolah Menengah Pertama. Selain menjadi salah satu pendiri, ia juga masih aktif mengajar di sekolah tersebut.
“Saya bisa membagi waktu antara mengurus perkebunan dan mengajar di sekolah. Jadi setiap pagi saya pergi ke kebun, dan ketika siang saya mengajar,” ujarnya.